The Speed Of Life

Photo : Mark Burban

Hidup kita semakin cepat, Sejak saya kecil dulu banyak orang dan hal sangat menyukai sesuatu yang cepat. Lebih cepat sampai ke sekolah, lebih cepat pulang (terutama kalau guru ada rapat), lebih cepat berangkat ke kantor, bahkan kalau bisa lebih cepat lulus sekolah (itulah kenapa kita mengenal adanya siswa akselerasi). Lebih cepat itu berarti lebih baik, entah siapa yang mengajarkan hal ini. Kita terjebak dalam sebuah medan kecepatan dimana kita dituntut untuk memenangkan sebuah balapan, dan kita akan menjadi pemenang jika lebih cepat dari siapapun.

Obsesi akan kecepatan itu pun melekat dalam kehidupan tanpa kita sadari. Telekomunikasi jarak jauh berawal dengan surat, lalu teknologi informasi pun tumbuh, terima kasih kepada Alexander Graham Bell kita tidak hanya bisa bertukar tulisan tapi juga suara. Dari sandi morse kita kemudian bisa mengirim pesan dengan lebih cepat dan singkat, pager hadir kemudian sms pun ikut muncul. Lalu internet pun hadir mewarnai dunia, kehidupan manusia semakin berlari lebih kencang. Yahoo Messenger, MiRC, Blackberry Messenger, Whatsapp, Skype, dan masih banyak lagi. Kita dengan mudah terkoneksi dengan siapapun dan dimanapun dengan cepat. Media Sosial, Friendster, Facebook, Twitter, Kaskus, Reddit, Instagram sekarang kita tahu lebih cepat bahwa ada sebuah kereta api yang mogok karena bannya bocor di sisi dunia sebelah sana (bukan hanya sana tapi sanaaaaaaa). Dan itu semua tidak berhenti disini.

Kita memulainya dengan berjalan kaki, lalu berkuda, kemudian muncul sepeda, setelah itu dengan cepat kendaraan bermotor mewarnai dunia. 10 cc, 50 cc, 100 cc, 150 cc, 800 cc, 1500 cc, 2000 cc. Kita dihadapkan dengan banyak sekali pilihan yang akan membantu kita mencapai satu tempat yang kita mau dengan lebih cepat. Dan ini menjadi semakin tak terkendali, we are so addicted to the force.

Internet melambat maka jutaan orang, ratusan ribu perusahaan akan mengamuk pada provider telekomunikasi. Secara ekonomi banyak yang tergantung dengan kecepatan internet bukan? Pesawat yang delay keberangkatannya, kereta yang terlambat datang, angkot yang ngetemnya kelamaan menghadirkan keresahan dan berujung ketidaksabaran. Orang - orang pun mulai mencari pihak - pihak lain untuk disalahkan. Pemerintah yang dituding tidak becus menyediakan infrastruktur (in some cases it’s true anyway), kendaraan bermotor pribadi yang memenuhi jalanan, harga mahal yang sudah dibayarkan. Banyak hal bisa menjadi sasaran amukan meski kadang itu nggak nyambung dan sama sekali tidak bisa dibenarkan. Our anger grow along the speed. We are being nonsensely scared to our imagination, careless to our surronding and starting to forget how human we are.

Orang - orang mulai memprotes saat kolega mereka terlambat menerima pesan karena dia hanya menggunakan handphone dengan fungsi sms dan telepon saja, mempertanyakan (bahkan memandang sebelah mata) orang - orang yang memilih berjalan kaki ataupun bersepeda, lebih memilih makanan cepat saji daripada harus menanti hidangan lezat yang butuh waktu cukup lama untuk dimasak. Waktu itu berharga atau Waktu adalah Uang adalah argumen yang sering kita dengar untuk membela diri. Satu hal yang saya tahu waktu semua orang sama, yang berbeda adalah level kesabaran dan bagaimana setiap orang memanfaatkannya. Mau dipercepat seperti apapun kita hanya memiliki 23 jam 59 menit 59 detik setiap harinya.  

Apa salahnya menjalani hidup yang lebih lambat? Apa ruginya menjadi lebih pelan dan pasti? Apa untungnya menjadi lebih cepat dan berisiko tinggi? Tidak apa kok hanya menggunakan handphone yang hanya berfungsi sms dan telepon di era informatika yang sangat cepat ini, tidak apa juga kalau memilih untuk berjalan kaki dan atau bersepeda walau itu membutuhkan energi lebih banyak dan waktu yang lebih lama. Sebagai gantinya adalah kewarasan yang terjaga, kesabaran yang terasah, dan nikmat kesehatan yang tak ada bandingnya. Tidak perlu khawatir jika pesan lama tak terbalas, mungkin yang ditunggu sedang asyik menikmati matahari yang tenggelam perlahan di ufuk barat. Tidak perlu khawatir juga jika seseorang tidak segera sampai, mungkin dia sedang membantu seseorang yang mengalami kesusahan yang ditemukannya saat mengayuh sepeda. Trust me, it’s okay to slow down your life. Take your time, it’s okay for the other side to wait .. it’s good for their patience training.

Komentar

Postingan Populer